Athena mengintip dari dalam. Ia mengambil beberapa langkah keluar sambil menarik tiang infusnya. Tidak ada yang memperhatikannya keluar karena para perawat dan dokter sepertinya terlalu sibuk untuk menengok sebentar saja. Athena sudah bosan terus berada di dalam kamarnya. Apalagi setelah hampir seminggu dirawat, ia tidak juga dipindahkan dari ICU. Mungkin keluarganya sudah merasa bosan harus menungguinya setiap waktu. Walaupun pada kenyataannya setiap sore ayah, ibu, atau kakaknya datang untuk menemaninya. Athena berharap keluar dari kamarnya dan jalan-jalan menjelajahi ICU dapat menghilangkan kebosanannya.
Pakaian pasiennya ia tutupi dengan sebuah jaket tipis. Entah tidak melihat atau tidak mau tahu, tidak ada seorang perawat maupun dokter yang menegurnya agar kembali ke kamar. Tapi ini tidak menjadi masalah bagi Athena. Lagipula masih ada waktu sekitar 3 jam menuju sore hari sebelum salah satu keluarganya datang.
Perjalanan Athena tidak terasa sudah keluar dari ruang ICU. Kini ia memasuki bagian rumah sakit yang sangat sibuk dan bising. Suara ambulans dapat terdengar jelas dari sini. Athena berada di Unit Gawat Darurat atau UGD. Suara orang kesakitan, tangisan maupun langkah kaki orang-orang berlari selalu mengelilinginya. Athena tiba-tiba saja ingin memfokuskan diri untuk melihat apa yang sebenarnya para dokter lakukan untuk menolong pasien yang sudah gawat. Ia melihat seorang remaja laki-laki yang kepala dan tangannya bersimbah darah, tergeletak di tempat tidur yang dikelilingi dokter dan perawat. Seorang dokter wanita muda menyodokkan sebuah selang ke dalam mulut si anak dan salah satu suster menusukkan sebuah selang beraliran darah donor ke tangannya. Pemandangan yang mengerikan bagi Athena. Ia belum pernah melihat darah sebanyak itu, darah yang menetes maupun darah yang ditransfer. Pemandangan di UGD ini mempengaruhi keputusan Athena untuk kembali ke kamarnya saja.
Pagi itu, beberapa jam sebelum keluarganya datang, Athena memutuskan untuk kembali menjelajahi rumah sakit. Kali ini kedua kakinya membawanya ke taman rumah sakit. Di hadapannya terhampar bunga lili air berwarna kuning yang menutupi kolam. Di seberangnya ada bangku putih panjang dan Athena melihat seorang anak laki-laki memarkirkan kursi rodanya tepat di sebelah bangku. Athena menghampirinya. Ternyata anak itu adalah pasien yang ia lihat di UGD kemarin sore. Athena pun duduk di bangku dan menyapa anak tersebut.
“Baru ya di sini?”
Anak itu hanya mengangguk.
“Kemarin aku lihat kau di ruang UGD. Kau kenapa? Kecelakaan apa?” Athena mencoba mencari teman di sini. Karena itu ia mencoba bersikap ramah terhadap anak itu.
“Motorku ditabrak container,” jawabnya singkat tanpa menengok ke Athena..
“Oh,” ungkap Athena singkat. “Boleh kenalan tidak? Aku Athena. Kamarku di ICU nomor 148.”
“Aku Denver. Di kamar 168.”
Hening. Keduanya hanya memandang hamparan bunga lili air.
Akhirnya Denver yang memulai pembicaraan berikutnya. Kali ini ia melihat ke arah Athena “Kau kenapa?”
“Anorexia…Jantungku juga…Jadinya tidak stabil.” Kali ini Athena yang tidak melihat ke arah
“Pantas. Kau kurus sekali.” Lalu Denver menunjuk ke tiang infus Athena. “Kenapa tidak kau lepas saja?
“Kalau kulepas, aku tidak akan bisa berjalan sejauh ini dari kamarku.”
Hening kembali. Hanya angin yang membuat suara.
“Eh, aku sepertinya harus kembali ke kamar,” ujar Athena memecah keheningan. “Kau tidak apa-apa di sini sendirian?”
“Atau mau kuantar ke kamarmu?”
“Tidak perlu. Aku bisa menjalankan kursi rodaku sendiri.”
Athena bangkit. “Baiklah. Sampai ketemu lagi.” Ia pun melangkah menjauhi kolam lili air.
Siang itu, setelah semua keluarganya pulang, Athena kembali melakukan perjalanannya. Kali ini ia sudah punya tempat tujuan. Kolam lili air. Ia tidak berharap bertemu
Tapi saat Athena sampai di
“Hai! Kukira aku tidak akan bertemu kau lagi di sini.” Athena mengambil posisi duduk di bangku tepat di sebelah
Athena tersenyum.
“Tidak ada yang tahu. Atau mungkin mereka tidak mau tahu,” lanjut
“Doktermu siapa?” tanya Athena.
“Dr. Paris.”
“Wah, dokter kita sama. Pasti ada masalah dengan jantungmu juga, ya? Memangnya kecelakaan itu membuat jantungmu kenapa?”
Tanpa memandang ke arah Athena seperti biasa,
“Boleh kutahu berapa umurmu?”
“18. Kau?”
“25.”
Hening. Athena memperbaiki posisi selang infusnya agar cairan infusnya menetes dengan benar.
“Supaya infusnya menetes dengan benar,” jawab Athena sambil masih sibuk dengan selang infusnya.
“Bukan. Yang itu maksudku.”
“Apa?”
“Ini.”
“Ini apa?”
“Oh.” Athena menatap jari-jarinya. Lama ia tidak menjawab.
“Tidak apa-apa kalau kau tidak mau cerita.”
Hening kembali. Athena dan
“Aku benci diriku,” kata Athena dengan suara kecil. “Badanku ini mudah gemuk. Walau aku juga tidak pernah gemuk-gemuk amat, sih. Karena aku selalu menjaga makananku. Tapi lama kelamaan, aku bosan dengan tubuhku yang begitu-begitu saja. Tidak kurus, tidak gemuk. Lalu, kupikir kalau aku kurus, aku tidak perlu takut kalau-kalau berat badanku naik. Jadi aku melakukan diet ketat. Terlalu ketat sebenarnya.”
“Kau stress?” tanya
Athena menggeleng.
“Kupikir kalau kau stress pasti karena pekerjaanmu. Kalau begitu pasti pekerjaanmu menyenangkan, ya?”
Athena menjawab, “Aku senang dengan pekerjaanku. Aku ini bekerja di stasiun radio, sebagai peliput. Tapi itu semua di
“Kok bisa sampai di sini? Di Bandung?”
“Aku sedang meliput di sini. Dan saat itu anorexia-ku memuncak. Aku dehidrasi dan pingsan. Karena itulah tidak banyak orang yang menjengukku. Semua teman dan keluargaku ada di
“Kenapa tidak dipindahkan ke rumah sakit di
Athena hanya mengangkat bahu.
“Lalu sedang apa kau di sini?”
Sambil tetap memandang bunga-bunga lili air diam mengambang di atas kolam,
Athena tidak menanyakan lebih lanjut tentang kecelakaan itu. Menurutnya,
Athena tersenyum kecil lalu berujar,” Aku tidak tahu apa yang sedang terjadi. Aku membenci diriku. Kau membenci semua orang. Dan kita bertemu di sini.”
“Aku tahu lukisan itu. Claude Monet. Water Lilies nama lukisannya.”
“Baiklah. Sama-sama, yuk! Boleh kuantar?”
Athena mendorong kursi roda
Esok paginya, pada jam yang sama, Athena dan
“Lihat,” seru Athena sambil menunjuk sekuntum lili air. “Yang itu kecil sekali. Pasti baru tumbuh. Lama aku menginap di sini, belum pernah kulihat ada bunga lili yang baru tumbuh. Lucu, ya.
“
“Kau mau aku cerita, ya?” timpal
Athena mengangguk.
Hening.
“Mamaku dari keluarga kaya sedangkan papaku membiayai kuliahnya saja tidak mampu. Nenek dari mamaku tidak menyetujui perkawinan orang tuaku. Setelah aku lahir, keadaan jadi tambah parah. Mamaku dipaksa nenek untuk meninggalkan aku dan papaku. Sejak kami hidup berdua, papaku kerjanya serabutan. Dan ia jadi gampang marah. Aku benci kalau ia marah. Walau aku tahu ia tidak bermaksud menjahati aku. Tapi rasanya aku selalu ingin menusuknya dari belakang saat ia pergi membalikkan badan setelah puas menbentak-bentak dan memarahiku.
“Aku tahu mamaku sayang padaku. Tapi aku tidak bisa membalas rasa sayang mamaku dengan rasa yang sama. Rasa marah selalu memenuhi dadaku setiap aku tahu dan teringat kalau mama tidak pernah berusaha untuk kembali pada kami dan meninggalkan kakek-nenekku yang brengsek. Dia seperti orang tua yang tidak sadar kalau dirinya sudah dewasa. Menurutku, ia hanya anak cengeng yang selalu tunduk pada orang tuanya, baik salah maupun benar.”
“Bagaimana orang tuamu bertemu?” tanya Athena.
“Malam itu, aku pergi dari rumah dengan motorku. Tidak tahu arah dan tujuan. Saat di jalan, aku selalu berharap ada mobil, motor, bis, atau truk yang melindasku. Dan tanpa kusadari, aku sampai di
“Mama atau papamu sudah ada yang ke sini?”
“Tidak ada. Mungkin nenekku sedang merantai mamaku di kamar bayinya dan ayahku terlalu kere untuk bisa ke sini.”
“Pernahkah kau kangen pada mereka?”
Hening.
Tiba-tiba
Athena mengambil 2 buah batu kerikil pada
Hening kembali.
“Apa orang pernah bilang kalau kau cantik?” tiba-tiba
Athena mengangkat bahu.
“Yah, kalau ada, berarti mungkin kau memang cantik. Tapi menurutku kau ini jelek dan kau juga harus beranggapan sama.”
“Kau ini sedang ngomong apa, sih?” tanya Athena penasaran.
“Maksudku,”
Athena tersenyum pada
Seperti biasa saat hari menuju siang mereka memutuskan untuk kembali ke kamar masing-masing. Mereka menutup pertemuan itu dengan janjian bertemu di tempat yang sama nanti sore.
“Kau sudah bosan di sini?” tanya
Athena mengangkat bahu. “Aku ingin juga pulang, sih. Tapi aku takut kalau aku keluar dari rumah sakit ini, aku akan kambuh lagi.”
“Tapi
“Bagaimana dengan kau? Apa kau masih ingin mati juga?”
Kali ini
Athena mengangguk. “Kau tidak tahu siapa aku, tapi kau mengijinkan aku mendengar cerita kehidupanmu.” Athena menengok ke arah
Lama tidak ada pembicaraan.
“Kali ini kita tidak banyak pembicaraan, ya,” tiba-tiba Athena berujar. “Apa yang sedang kaupikirkan?”
“Tidak ada,”
“Memangnya biasanya kau memikirkan apa?”
“Siapa yang harus kubunuh. Orang tuaku atau aku. Tapi kadang aku juga memikirkan, kalau kubunuh semuanya, siapa yang dapat jatah paling pertama.”
“Kau itu misterius tapi jujur, ya,” kata Athena. “Kalau aku, tidak pernah berpikir sesadis itu. Walau aku benci diriku, aku masih ingat kalau ada orang yang sayang padaku.”
Sisa jam itu hanya mereka habiskan sambil menatap hamparan kolam lili air. Tidak ada pembicaraan lagi. Namun pemandangan di depan mereka, membuat keduanya mengalami perasaan yang dalam. Pikiran mereka memang kosong, tapi lambat laun disegarkan oleh harum lembut bunga lili air.
Esok paginya, saat
“Hai!” sapa Athena.
“Kok kau ke sini?” tanya
“Tidak apa-apa. Aku hanya lebih semangat hari ini. Yuk, kita ke kolam!”
Athena mendorong kursi roda
“
“Kau akan pulang?” tanya
“Sepertinya.”
“Kau sudah sembuh. Sekarang justru aku sedang merasa tidak baik.”
“Tenanglah. Dr. Paris itu hebat. Kalau dia bisa menyembuhkanku, kenapa denganmu tidak. Nanti sebelum aku pergi, aku akan ke kamarmu lalu kita bertukar alamat dan nomor telepon.”
Hening.
Sambil menarik tiang infusnya, Athena berjalan menuju kolam. Ia mencabut bunga lili air yang paling dekat dengan tepi lalu membawanya ke bangku. Sambil menatap bunga lili air itu, ia berkata, “Kupikir masalahmu karena kau terlalu menerima mereka.”
Lalu Athena menaruh bunga itu di bangku dan menatap
Hening.
“Kau tidak apa-apa kalau aku kembali sekarang?” tanya Athena lembut, takut kepergiannya mengecewakan
“Atau ingin kuantar ke kamarmu?”
“Tidak usah,” jawab
“Baiklah. Sampai jumpa.” Athena pun berlalu sambil diiringi suara roda tiang infus yang ditariknya.
“Athena!” tiba-tiba
Athena yang belum berjalan jauh, menengok.
“Mmm… Kita masih akan bertemu lagi,
Athena hanya tersenyum dan mengangguk mantap. Lalu ia pun pergi.
Dr. Paris memasuki kamar 148 di ICU. Di
Dr. Paris kemudian mengambil posisi berdiri di sebelah tempat tidur. “Kalian sudah siap?” tanyanya kepada semua orang di kamar itu.
Seorang pria yang paling tua mengangguk.
Lalu dr.
Athena membuka matanya dengan pelan. “Seperti biasa, dokter,” jawabnya dengan suara serak. “Sakit di tulang, kepala pusing, mual, bibirku kering. Tapi sesak napasku sudah lumayan mereda.”
“Setelah ini kau tidak akan merasakan semua itu lagi.” Dr. Paris mencabut selang di hidung Athena.
“Kau sudah memberi salam pada keluargamu?”
Athena mengangguk.
Dr. Paris mencabut selang di lengan atas Athena. “Lalu, tidurmu pagi ini?”
“Nyenyak.”
“Apa kau pernah bermimpi semenjak di sini?” Dr. Paris mencabut 2 selang di dada Athena.
“Pernah.”
“Bagaimana mimpimu?” Dr. Paris mencabut selang di perut Athena.
“Menyenangkan. Kukira aku bertemu dengan seorang malaikat.”
Dr. Paris mencabut selang terakhir, selang infus. “Sekarang bagaimana rasanya?”
“Lebih baik,” kata Athena dengan napas tersendat-sendat. “Dokter, kalau orang mau pulang, harus cantik
“Tenang saja. Kau sudah cantik,” jawab dr.
“Dokter, tolong sampaikan pada pasien di kamar 168. Katakan padanya terima kasih.”
Dr. Paris tidak begitu mengerti apa yang dimaksud Athena. Namun ia berusaha untuk tidak mengeluarkan ekspresi bingungnya. “Akan kusampaikan. Saya janji.”
Sambil tersenyum, Athena menutup matanya. Dr. Paris berjalan menjauhi tempat tidur. Keluarga yang menangis giliran mengerumuni tempat tidur, mengiringi kepergian Athena.
“Dokter,” seorang suster bernama
Dr. Paris segera keluar dari kamar. “
“Pasien di kamar 168 keadaannya memburuk.”
Dr. Paris bergegas menuju kamar 168. Suster Lourdes mengikutinya sambil tetap memberi informasi, “Detak jantungnya makin melemah. Napasnya tidak teratur. Tekanan darahnya turun. Dia masih dalam keadaan koma.”
Saat sampai di
“Ayolah, nak. Pasien kamar 148 menyampaikan terima kasih untukmu. Setidaknya bertahanlah karenanya.”
Saat perawat-perawat lain datang, mereka melakukan apa yang bisa dilakukan. Dr. Paris memberi perintah untuk mengaktifkan alat kejut jantung saat garis datar tampak di monitor. Mereka telah berusaha sebanyak 3 kali, tapi tidak ada reaksi dari pasien.
“Dia meninggal pada pukul 14.35,” kata dr.
“Bukan hari yang baik, dokter,” kata suster
“Begitulah, suster. 2 Pasienku meninggal hari ini, walaupun ini bukan yang pertama kali,” kata dr.
Tidak terasa mereka telah melewati taman rumah sakit. Tiba-tiba dr.
Suster Lourdes mengerutkan dahi. “Kok bisa? Pasien kamar 168 sudah koma sejak datang ke sini. Dan wanita pengidap anorexia itu lebih banyak tidur dan bangun hanya saat tertentu. Apa menurut dokter wanita itu pernah mengunjungi anak laki-laki di kamar 168 itu?”
Dr. Paris menggeleng. “Tidak mungkin. Wanita itu tidak punya tulang yang kuat untuk menyanggahnya berdiri.”
Sambil mencoba menemukan jawaban yang masuk akal, dr.
“Saya juga baru tahu sekarang, dokter.”
“Warna kuning lebih baik. Jadi kelihatan lebih serasi dengan bunga-bunga lili air itu. Dan, bisa kau lihat, suster? Seseorang menaruh bunga lili air di bangku itu.”
Suster Lourdes mengangguk. “Bunga itu masih kelihatan segar walaupun sudah dicabut.”
Lalu dr.
Belle Bintang B.
2 Bahasa / 4
No comments:
Post a Comment